JURNALBERITA.ID – SURABAYA, Kebijakan baru yang dikeluarkan pemerintah kota (Pemkot) Surabaya yang tertuang dalam Peraturan Wali kota (Perwali) nomor 33 tahun 2020 Surabaya pengganti Perwali nomor 28 tahun 2020, dianggap sangat membingungkan warga Surabaya.
Pasalnya, menurut Ketua Fraksi partai Golkar yang baru dinobatkan sebagai Ketua DPD 2 partai Golkar kota Surabaya, Arif Fathoni, bahwa Perwali 33 ini pun dianggap minim kajian akademis dan empiris terhadap kondisi perekonomian Surabaya di tengah pandemi saat ini.
BACA JUGA :
- Perwali 33 Tahun 2020 Percuma Diterapkan, Jika Protokol Kesehatan Dilanggar
- 60 Persen Kepengurusan DPD 2 Partai Golkar Akan Diisi Kader Milenial
- Dewan Mempertanyakan Kejelasan Dana Jasmas Pemkot Surabaya
“Jadi perubahan Perwali 28 yang digantikan Perwali nomor 33 ini memang saya menduga minim kajian akademis. Perwali ini dibuat tanpa melalui pertimbangan yuridis yang bagus dan tidak didasari kondisi yang obyektif yang ada,” jelas Thoni, anggota Komisi A DPRD Kota Surabaya, Kamis (16/07).
Lanjut dia, kebijakan yang diambil dirasa membingungkan bagi kalangan usaha, karena perubahan perwali 28 ke 33 adalah perubahannya yang sangat fundamental.
Bagaimana tidak, perwali sebelumnya nomor 28 tahun 2020 dijelaskan, usaha yang awalnya di perbolehkan buka, lalu tiba-tiba harus tutup. Dan sebelumnya, imbuh Thoni, memperbolehkan aktifitas pada malam hari di tengah pandemi Covid-19.
Akan tetapi, dalam Perwali 33 tahun 2020, dilakukan pembatasan jam malam lagi. Padahal tidak ada temuan tempat usaha seperti ini menjadi klaster- klaster baru penyebaran Covid-19.
Lalu tiba-tiba ditutup, ini membingungkan kalangan usaha, kalau kemudian pengusahanya sudah bingung maka berdampak pada potensi pemutusan hubungan kerja, ujarnya
“saya yakin bu Risma belum membaca ini secara detail, menurut saya ini tindakan satu dua orang saja yang saya pikir tidak melalui diskusi yang panjang di internal pemkot dan tidak melibatkan ahli ahli yang selama ini digunakan pemerintah kota untuk menyusun kajian kajian akademis raperda,” lanjut Thoni.
Selain itu, Thoni juga menjelaskan, ketika melihat item-item tertentu dalam perwali nomor 33 tahun 2020 ini, ada beberapa hal yang dirasa sangat memberatkan bagi warga.
Salah satunya, yaitu tentang kewajiban membawa surat rapid tes atau swab tes bagi warga luar kota Surabaya yang bekerja di Surabaya.
Persyaratan itu, benar-benar sangat memukul kalangan pekerja, karena pandemi covid-19 ini telah mengguncang stabilitas perekonomian masyarakat. Kemudian harus terbebani berbagai persyaratan seperti ini lagi, ujar Thoni.
Persyaratan itu semua, seharusnya ditanggung Pemkot menggunakan APBD yang ada, agar mengurangi beban perekonomian masyarakat, sambung dia.
“Ada beberapa item yang saya soroti. Yang pertama tentang kewajiban rapid test warga luar Surabaya, yang kerja di Surabaya. Tentu ini sangat memberatkan, itu bisa di ambil alih oleh pemerintah dengan kekuatan APBD yang ada. Inilah yang saya maksud bahwa perwali ini agak aneh dan miskin kajian akademis,” terang Thoni.
Jadi tidak boleh membebani masyarakat yang sedang kesusahan, cetusnya.(JB01)