JURNALBERITA.ID – SURABAYA, Relawan Ganjar-Mahfud MD yang baru pulang menghadiri kampanye di Boyolali, Jawa Tengah mendapat perlakuan dari oknum anggota TNI Markas Kompi B Yonif Raider 408/Sbh yang melakukan tindak kekerasan. Sejumlah tokoh masyarakat menyesalkan atas kejadian tindak kekerasan terhadap seseorang yang memberikan dukungan pada salah satu paslon presiden.
“Mereka bukan maling atau koruptor, hanya anak muda iseng yang motornya dipasang knalpot brong,” ungkap Singky Soewadji selaku tokoh masyarakat Surabaya, pada media ini, Senin (01/01/2024).
Kalaupun itu pelanggaran, Singky menambahkan, itu merupakan wewenang Kepolisian, dan tidak harus digebuki ramai-ramai.
“Kami menuntut keadilan atas penganiayaan ini, pelaku harus di pecat, komandannya hingga KASAD dan PANGAB layak di copot,” tegasnya.
Hal senada juga disuarakan Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Demokratis (KMSKPD) yang meminta Presiden Joko Widodo dan DPR RI untuk mengevaluasi dan mencopot Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto dan KSAD Jenderal Maruli Simanjuntak terkait kasus penganiayaan relawan capres dan cawapres Ganjar-Mahfud yang dilakukan sejumlah anggota TNI di Boyolali, Jawa Tengah.
“Koalisi mendesak Presiden Joko Widodo dan DPR RI untuk mengevaluasi dan mencopot Panglima TNI dan KSAD yang gagal mengontrol anggota sehingga terjadi penganiayaan yang berulang dan gagal menjaga citra TNI untuk bersikap netral dalam Pemilu 2024,” kata Ketua PBHI Julius Ibrani dalam keterangan tertulis, Minggu (31/12/2023).
Pihaknya menilai, bahwa Panglima TNI dan KSAD gagal menjaga netralitas TNI dalam Pemilu 2024. Menurut Julius, rusaknya netralitas harus diperbaiki dengan proses hukum yang adil dan benar.
“Aksi main hakim sendiri atau bertindak melanggar hukum oleh anggota TNI tidak dapat dibenarkan secara hukum dengan alasan apapun. Hal ini harus dilakukan penindakan tegas terhadap para pelaku dilingkungan peradilan umum. Terlebih ketika penganiayaan Anggota TNI itu dilakukan kepada relawan pendukung paslon yang tentunya dapat mencerminkan ketidak netralan TNI dalam menyikapi perbedaan pandangan politik yang ada di masyarakat,” ujarnya.
Lebih lanjut, Julius menyebut tindakan kekerasan oleh anggota TNI merupakan tindakan kesewenang-wenangan hukum (above the law) yang brutal karena penindakan terhadap pelanggaran lalu lintas merupakan tugas Kepolisian atau Dinas Perhubungan, bukan TNI.
Selain itu, korban adalah massa politik yang sedang berkampanye politik, maka seharusnya dianggap sebagai dugaan pelanggaran yang masuk ranah penindakan Bawaslu. (*JB01)