JURNALBERITA.ID – SURABAYA, Indonesia sejak tahun 2018 lalu hingga tahun depan akan sangat sibuk dengan berbagai gelaran pesta demokrasi. Tahun ini kita baru saja menyelesaikan tahapan paling melelahkan dari setiap rangakaian gelaran tersebut, Pemilu Serentak Eksekutif dan Legislatif. Setelahnya kita akan diajak bermaraton menuju Pilkada Serentak 2020.
Selama tiga tahun berturut-turut, dialektika dalam proses itu muncul tanpa tahu kapan akan berakhir. Ruang publik kita riuh dengan jargon-jargon, perdebatan, diskusi, berita hoax, hingga munculnya boneka-boneka perebut kekuasaan bernama politisi yang lalu lalang menonjolkan dirinya dalam rangka menarik simpati pemilih.
Dari sekian banyak hal tersebut, penulis merasa tergelitik dengan poin terakhir, di mana orang-orang berlomba mencitrakan diri dengan berbagai macam cara secara disengaja hanya karena kekuasaan. Memang harus diakui bahwa politik itu mutlak butuh pencitraan. Tanpa pencitraan, orang tidak akan mengenalnya. Pencitraan merupakan bagian dari kebutuhan branding bagi setiap orang yang butuh suara publik. Di era dimana partisipasi suara rakyat adalah penentu nasib para politisi, maka hukum yang berlaku adalah “tak kenal, maka tak terpilih”.
Dari kemakluman kita akan fenomena yang demikian, tentu akan menjadi masalah ketika strategi pencintraan politisi itu justru lebih mengarah kepada upaya pembohongan atau penipuan terhadap publik. Pembohongan atau penipuan publik yang dimaksud di sini adalah adanya ketidakseimbangan antara realita dengan apa yang ditampilkan seorang politisi di ruang publik melalui kampanye virtual di media sosial.
Banyak orang bilang bahwa rakyat kita sudah cerdas, tidak mungkin bisa dibohongi. Ini ungkapan yang berlebihan. Buktinya, rakyat sering gagal memilih pemimpin yang baik. Baik artinya punya kapasitas dan integritas. Kapasitas diukur dari perbaikan (adanya perubahan terukur ke arah yang lebih baik) yang sudah dibuat oleh seorang pemimpin buat rakyatnya. Dan integritas artinya komitmen hukum, moral dan loyalitas terhadap kebenaran selama memimpin.
Masih banyaknya pemimpin daerah yang berurusan dengan penegak hukum, terutama KPK, adalah bukti kegagalan rakyat memilih pemimpinnya. Fakta ini membuktikan bahwa rakyat masih mudah dijadikan korban pencitraan.
Oleh karena itu, masyarakat perlu cerdas memahami segala gerak-gerik politisi di media sosial agar tidak terjebak pada kebohongan-kebohongan yang kemudian berimbas pada timbulnya ketidakpercayaan publik terhadap politisi yang nyata kerjanya dan kelihatan hasilnya bagi kehidupan masyarakat itu sendiri.
Bagaimana memahami gerak pencitraan politisi di ruang publik?
Hal utama yang wajib diketahui masyarakat terlebih dahulu adalah ketika seseorang terjun di dunia politik, integritas dan kapabilitas tidak cukup. Dia perlu melakukan segala macam cara agar mampu menarik hati masyarakat. Dalam prosesnya tidak semua orang mampu mengenalkan dirinya kepada publik dengan kesan yang menarik. Di sinilah pencitraan menjadi kebutuhan politik yang tidak bisa dihindari.
Sebagai kebutuhan, pencitraan akan hadir dalam bentuk apa saja ke ruang publik. Dalam situasi ini, pertanyaan refleksi bagi kita adalah mau menjadi korban pencitraan atau melawan balik agar kita benar-benar menuai pemimpin dengan kualitas cukup baik.
Cara melawan balik paling sederhana yang paling mungkin dapat kita lakukan adalah memahami arti dari pencitraan itu sendiri. Sebenarnya, pencitraan lebih terkait kepada kegiatan yang dilakukan untuk membentuk citra seseorang sesuai keinginan atau harapan publik guna mendapatkan simpati. Kadang kala usaha ini dilakukan juga untuk menutupi sesuatu yang buruk.
Mudahnya, pencitraan adalah “pembungkusan diri” dengan gambaran yang disukai oleh publik walaupun apa yang diberikan sebagai value atau nilai kadang tidak jelas atau bahkan cenderung “kosong”. Oleh karenanya, pencitraan sering dikonotasikan sebagai sebuah upaya sesaat yang tidak berkesinambungan dan tidak akan pernah ada follow up-nya lagi.
Contohnya, bila keinginan publik adalah melihat sosok yang baik, santun, mengutamakan kepentingan orang banyak, maka semua kegiatan orang yang dicitrakan itu dirancang dan dijalankan dengan seksama, menggunakan beragam medium komunikasi agar cocok dengan citra tersebut. Tiba-tiba mengunjungi pasar, tiba-tiba memberi bantuan di rumah yatim, memotret diri sedang memberi sedekah dan berbagai macam hal lainnya yang tidak lazim dia lakukan sebelumnya. Biasanya kegiatan pencitraan ini hanya berlangsung sesaat, karena tujuannya memang mengubah persepsi orang.
Untuk menghindari metode pencitraan seperti itu, penulis masih percaya bahwa masyarakat kita sudah cukup bisa membedakan mana yang masuk kategori pencitraan dan mana yang bukan karena terlalu sering dipertontonkan di ruang publik kita selama ini. Penulis ingin kita mencoba lebih jeli lagi melihat figur dan rekam jejak calon pemimpin kita di masa yang akan datang, terutama jelang Pilkada Serentak 2020.
Perlu adanya pendidikan literasi digital yang akan sangat membantu masyarakat tidak menelan mentah segala informasi di ruang publik media sosial kita. Ini menjadi penting mengingat pencitraan sering selalu dibungkus dalam berbagai macam kemasan. Variasi kemasan ini membuat masyarakat tanpa sadar sedang dipaksakan menerimanya tanpa bisa memilih.
Penulis yakin bahwa literasi digital cukup membantu masyarakat dalam menjembatani pertemuannya dengan sosok calon pemimpin mereka di ruang nyata. Akan terjadi keseimbangan antar keduanya. Keseimbangan akan mengarah kepada diminimalisirnya aksi atau tindakan pembohong publik massal di ruang interaksi kita di media sosial. Pencitraan itu baik, tetapi harus tetap seimbang antara apa yang terjadi di dunia nyata dengan apa yang dicitrakan di dunia maya. Terutama soal kapasitas dan integritas seorang calon pemimpin kita. (JB01)
Oleh: Vinsensius Awey
Mantan Anggota DPRD Kota Surabaya 2014 – 2019