JURNALBERITA.ID – SURABAYA, Pansus Raperda Retribusi Aset Daerah tengah membahas tentang pengelolaan retribusi aset daerah utamanya terkait dengan retribusi surat ijo atau Ijin Pemakaian Tanah (IPT) yang menjadi beban masyarakat Surabaya saat ini. Pendapatan dari retribusi dari surat ijo relatif kecil yakni hanya Rp 41 miliar dibandingkan dengan APBD kota Surabaya yang mencapai Rp 9,5 Triliun.
Ketua Pansus Raperda Retribusi Aset Daerah, Baktiono menyampaikan, permasalahan pada masyarakat yang terus mengeluhkan pembayaran retribusi aset daerah dari surat ijo terus begulir. Bahkan menurut Baktiono sejak tahun 2003 masyarakat memperjuangkan agar mereka tidak dibebani retribusi sewa tanah surat ijo
“Kondisinya mayarakat yang menempati lahan surat ijo mengeluhkan, agar retribusi sewa surat ijo dihapuskan. Ya karena mereka selain dibebani PBB juga dibebani retribusi surat ijo,” ungkap politisi PDI Perjuangan ini, Senin (1/7) digedung DPRD kota Surabaya.
Masih kata Baktiono, oleh karenanya Pansus mendorong agar Pemkot menghapus penarikan retribusi surat ijo.
“Ya nanti kita akan usulkan untuk memasukkan dalam pasal perubahan perda ini,” ujar dia.
Pri yang juga sebagai kandidat ketua DPRD kota Surabaya ini menjelaskan, untuk pembahasan restribusi kekayaan daerah yang paling menarik adalah tentang ijin pemakaian tanah (IPT)
“Kalau untuk ijin pemakaian tanah (IPT) semua anggota pansus setuju untuk pemukiman kita bebaskan semua. Kita ingin mengakhiri konflik puluhan tahun antara pemkot dengan rakyat ini konfliknya berakhir,” kata Baktiono.
“Pembahasan restribusi kekayaan aset daerah ini, kita ingin menghapus semua. Karena sampai saat ini, terjadi gugat mengugat. Kami tidak ingin presepsi warga masyarakat jelek terhadap pemerintah Surabaya,” urainya.
Cak Bak sapaan akrab Baktiono juga menjelaskan, terjadi gugatan karena mereka ingin memperoleh haknya atas tanah itu, kajiannya sangat luas.
“Kalau kita ngomong didalam surat ijo ini lain dengan restribusi,” ujar dia.
Cak Bak menambahkan, IPT itu isinya ada igendom, igendom itu hak milik jaman Belanda. Artinya, kalau Belanda sebagai penjajah atau kompeni mengakui kalau itu miliknya rakyat, lah kalau pemkot mengakui miliknya pemerintah kota, inikan tidak logis. Bahkan lebih parah dari jaman penjajahan waktu itu.
Disitu juga ada petok D, kita bisa buktikan bahkan juga ada letter C yang diakui juga milik pemerintah kota yang disebut surat ijo yang diakui oleh masyarakat tadi, kalau pemerintah kota disebut ijin pemakaian tanah didalamnya ada itu.
“Dan masyarakat mengugat itu tidak salah, karena pemerintah kota waktu itu asal masukan saja dalam aset sejak tahun 2008. Dan warga yang tergabung dalam surat itu menggugat sejak tahun 2003,” pungkasnya.
“Lah oleh karena itu untuk mengkhiri konflik walaupun tadi ini tidak langsung semuanya. Paling tidak kan lima puluh persen yang ada hubungan baik selama ini, kita bebaskan restribusinya. Untuk pemukiman saja, tidak peduli untuk pemukiman apapun, kecuali untuk komersial dan peruntukan lainnya,” tegasnya. (*)