JURNALBERITA.ID – SURABAYA, Pasal 28 ayat (2) itu dibuat untuk mencegah supaya tidak ada provokasi kebencian dan permusuhan SARA di tengah masyarakat yang heterogen. Tujuannya agar tidak terjadi kerusuhan berbasis SARA.
Oleh pembuat UU, pasal ini diberi ancaman sanksi berat, maksimal sampai pidana penjara 6 tahun dan denda maksimal 1 milyar sehingga bisa untuk menahan tersangka.
Itu semua dimaksudkan untuk ketentraman Bhinneka Tunggal Ika terjaga dari para provokator politik. Tapi kenyataannya karena hukumannya tinggi, lebih dari 5 tahun, pasal ini oleh penegak hukum yg nakal sering dipakai sembarangan untuk menahan tersangka.
Terutama apa bila ada relasi dengan orang yang berkuasa atau pengusaha yang punya banyak dana.
Bagi mereka yang penting pelaku yang ditarget ditahan dulu, walau kemudian di Pengadilan keputusan sering melepaskan terdakwa, tapi pelaku sudah “dikapokkan” dengan menjalani tahanan hingga persidangan.
Itulah permainan hukum menggunakan UU ITE di berbagai daerah. Pasal 28 ayat (2) sendiri berbunyi :
“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)”
Mari kita pahami detail pasal ini. Pertama Delik utama pasal 28 ayat (2) UU ITE adalah perbuatan menyebarkan informasi yang menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap individu atau kelompok masyarakat berdasar Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA).
Kedua bentuk informasi yang disebarkan tersebut bisa berupa gambar, video, suara, atau tulisan yang bermakna mengajak, atau mensyiarkan pada orang lain agar ikut memiliki rasa kebencian dan atau permusuhan terhadap individu atau kelompok masyarakat berdasar isu sentimen atas SARA.
Kriteria yang disebut “menyebarkan” dapat dipersamakan dengan pengertian agar “diketahui umum”. Yaitu bisa berupa unggahan pada akun media sosial dengan pengaturan bisa diakses publik, atau mensyiarkan sesuatu pada aplikasi group percakapan dengan sifat terbuka dimana siapapun bisa bergabung dalam group percakapan, lalu lintas isi atau informasi tidak ada yang mengendalikan, siapapun bisa upload dan berbagi (share) keluar.
Atau dengan kata lain tanpa adanya moderasi tertentu (open group).
Perbuatan yang dilarang dalam pasal ini motifnya adalah ingin membangkitkan rasa kebencian dan atau permusuhan atas dasar SARA.
Disini Aparat Penegak Hukum harus membuktikan ada motif membangkitkan yang ditandai dengan adanya konten mengajak, mempengaruhi, menggerakkan masyarakat, menghasut atau mengadu domba dengan tujuan menimbulkan kebencian, dan atau permusuhan.
Frasa “antar golongan” adalah entitas golongan rakyat di luar Suku, Agama dan Ras sebagaimana pengertian antar golongan mengacu keputusan Mahkamah Konstitusi No. 76/PUU-XV/2017.
Penyampaian pendapat, pernyataan tidak setuju atau tidak suka pada individu atau kelompok masyarakat tidak termasuk perbuatan yang dilarang, kecuali yang disebarkan itu dapat dibuktikan ada upaya melakukan ajakan, mempengaruhi, dan atau menggerakkan masyarakat, menghasut/mengadu domba untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan berdasar isu sentimen perbedaan SARA.
Pasal 28 ayat (2) UU ITE ini sdh diubah dalam revisi Perubahan Kedua UU ITE 4 Januari 2024. Unsur Antar golongan dipersempit pengertiannya sehingga tidak bisa dipakai untuk provokasi antar kelompok politik yang berbeda.
Nah, sekarang apakah pemahaman yg jelas pada pasal ini cocok diterapkan untuk kritikan dari seorang aktivis lingkungan hidup?
Sama sekali masalah, motif dan unsur-unsur perbuatannya tidak cocok, bahkan tidak nyambung.
Layak dicurigai dan perlu ditelusuri ada tidaknya relasi antara perusahaan yang dikritik aktivis Daniel Frits Maurits dengan para penegak hukum yg menggunakan pasal dengan sanksi berat, agar asal bisa nahan?
Oleh : Prof Henri Subiakto SH