– dr. Akmarawita Kadir, M.Kes, AIFO
– Sekretaris Fraksi Partai Golkar DPRD Kota Surabaya
– Sekretaris Komisi D DPRD Kota Surabaya
JURNALBERITA.ID – SURABAYA, Pembahasan pos anggaran dengan program kegiatan yang di buat oleh pemkot, sepertinya memang harus di cermati dan perlu dikaji ulang. Pasanya anggaran di bidang kesehatan hanya dianggarkan sebesar Rp 18 miliar dari Rp 196 miliar anggar yang diusulkan Pemkot.
Sekretaris Komisi D Yang juga sebagai Sekretaris fraksi partai Golkar DPRD Kota Surabaya, dr Akamarawita Kadir, M.Kes menyarankan, supaya Pemkot Surabaya dalam menangani Covid-19 memiliki road map Promotif, Prefentif, Kuratif dan Rehabilitif (P2KR). Saat ini kebijakan yang dijalankan Pemkot itu road mapnya tidak jelas, ditegaskan dr Akma.
“Saya melihat, sejumlah pengajuan pembelanjaan bahan-bahan tanpa didasarkan road map. Seperti tidak terlihat prioritas kebijakan yang berdasarkan pada P2KR tadi. Sehingga, di lapangan penanganan Covid-19 di Surabaya kurang optimal. Akibatnya Surabaya menempati rangking teratas jumlah pasien terkonfirmasi COVID-19 di Jawa Timur, dan terus bertambah,” ungkap dia.
Lanjut dr Akma, prioritas promotif tidak terlihat, akhirnya seperti tidak maksimal dilakukan, adanya kepanikan warga, tidak menggunakan masker, masalah penanganan jenasah, kesadaran warga, perlakuan terhadap ODP, PDP maupun yang terkomfirmasi.
“Ini tidak ada koordinasi dari pemkot sampai ke tingkat RT dan RW. Misalnya pasien dan keluarga yang terdampak, seolah-olah pasien dan keluarganya adalah terkena aib dan dijauhi. Ini salah satu contoh prioritas promotif yang gagal dilakukan Pemkot Surabaya,” urai politisi partai Golkar ini.
Pria yang berlatar belakang dosen kedokteran UWK ini menambahkan, himbauan terhadap pasiean ODP atau PDP untuk isolasi diri di rumah. Sementara pasien dengan status itu, tidak ada yang mengontrol keberadaanya.
“Lalu, siapa yang menjamin ODP atau PDP ini tidak keluar rumah? Ini disebabkan Karena RT/RW tidak mengetahui dan tidk ada koordinasi yang dijalankan dengan benar samapi ketingkat bawah,” ujarnya.
Prioritas Kebijakan preventif kurang pas, misalnya kata dr Akma, membuat dapur umum dengan pembelanjaan empon-empon, pokak dan lain-lain yang menghabiskan anggaran hampir Rp 3 miliar. Apakah empon-empon itu sudah pasti dapat menghambat penyebaran COVID-19 dan dapat menurunkan angka pasien terkonfirmasi positif?, ternyata kan tidak, ini tidak ada ukuran yang jelas.
“Untuk menigkatkan daya tahan tubuh ya makan-makanan yang bergizi lengkap bisa di tambah supplemen vitamin,” terang dr Akma.
Sambung dia, empon-empon, jamu, dan sebagainya adalah kebijakan preventif, yang sebenarnya prioritas kebijakan preventif ini bisa di substitusikan pada permakanan, dengan meningkatkan gizi permakanan, maka akan meningkatkan orang-orang yang diberikan permakanan tersebut.
Kebijakan Bilik Sterilisasi, ini juga tidak ada ukuran yang jelas, apakah orang yang keluar masuk pasti sudah steril? Yang jelas, ya tidak steril, kalau steril itu zero kuman. Dan tidak ada ukuran yang jelas bahwa masuk bilik bisa menghindari penularan covid-19, apalagi ada himbawan dari kemenkes bahwa tidak dianjurkan karena membahahayakan, jelasnya.
“Kebijakan menyemprotkan disinfektan dengan media Drone, ini malah ukurannya gimana, indikatornya keberhasilannya gimana? berapa kapasitas Drone dalam melakukan penyemprotan setiap kegiatan, ini kan cuman buang-buang waktu dan terkesan dagelan yang dilakukan, yang dipertaruhkan adalah jiwa manusia. Jangan dibuat coba-coba dan guyonan,” tukas dr Akma.
Rencana kebijakan mandi di bandara, ini ngukurnya gimana? Jadi, ya banyak kebijakan yang tidak terukur yang dilakukan oleh Pemkot Surabaya. Belum lagi penyemprotan disinfektan di jalan-jalan yang tidak ada koordinasi dan protap yang dijalankan dengan baik. “Banyak laporan dari warga, ketika warga lagi berjalan di pinggir jalan, berjemur, tiba-tiba di semprot dengan disinfektan. Cairan disinfektan itu berbahaya yang bisa menimbulkan iritasi baik pada kulit, mata saluran pernafasan jika kehirup, apa yang dilakukan tidak berdasar atas protab yang jelas,” tandasnya.
Prioritas preventif sebaiknya lebih fokus kepada mekanisme trakcing yang baik dan pada pembatasan sosial agar tidak terjadi penyebaran COVID-19 ini. Menyediakan kebutuhan masker supaya tidak langka dan mahal, hand sanitizer, pelindung wajah, dan lain-lain. “Kecepatan dan ketepatan membuat regulasi, dan sanksi pembatasan sosial sangat diperlukan, misalnya PSBB dengan metode yang terukur, harusnya PSBB ini menjadi inisiatif dari PEMKOT dari awal, guna menekan penyebaran COVID-19,”kata dr Akma yang juga adik kandung Adies Kadir anggota Komisi III DPR RI.
Prioritas preventif lainya adalah preventif yang berhubungan langsung dengan kuratif. “Ini yang saya sangat sesalkan karena anggarannya sangat minim, karena sampai sekarang kesiapan bidang kesehatan sangat memprihatikan. Misalnya, Rapid Test yang terbatas, APD yang terbatas, Masker N95 yang terbatas, Ruang Isolasi yang terbatas, Standar ruang isolasi RS yang kurang memadai, Jumlah Kapasistas ruang Isolasi dan Ruang Perawatan Covid yang terbatas, kesediaan obat-obatan. Ini sangat memprihatinkan, digarda terdepan covid-19 sarananya serba terbatas,”beber dr Akma.
Dia menambahkan, para dokter dan tenaga medis di klinik maupun RS bekerja dengan bahaya yang mengancam jiwanya, dengan segala keterbatasan dan fasilitas yang kurang memadai. Karena sudah ada dokter dan tenaga medis yang meregang nyawa karena covid-19 ini.
Bagaimana Road Map penaganan jaring pengaman sosial, karena angka MBR semakin meningkat. Bagaimana nasib para buruh yang di PHK, karyawan yang di rumahkan, para guru swasta, guru honorer, para pendatang yang bekerja di surabaya, para orang tua siswa yang sudah tidak bekerja dan harus membayar SPP anaknya di sekolah swasta, yang uang nya juga habis membeli pulsa, padahal mereka butuh makan. Bagaimana Pengelolaan CSR, UMKM, celoteh dr Akma
Meningkatnya angka ODP, PDP, Terconform paositif COVID-19 di Surabaya menandakan program yang dijalankan Pemkot surabaya belum optimal. Sebaiknya Pemkot membuat ROAD MAP yang berdasarkan promotif, preventif, kuratif & rehabilitatif yang jelas dan terukur, pungkasnya. (JB01)