JURNALBERITA.ID – SURABAYA, Permulaan penyelenggaraan transmigrasi pada tanggal 12 Desember 1950. Pemerintah Indonesia secara resmi melanjutkan program kolonisatie yang telah dirintis pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1905 dengan nama yang lebih nasionalis yaitu transmigrasi.
Begitu mudah menemukan nama-nama kampung atau orang Jawa di Lampung, Sumatera. Tak mengherankan, karena Lampung merupakan daerah tujuan transmigrasi pertama di Indonesia.
Transmigran pertama dari Jawa didatangkan ke Lampung, tepatnya di Kampung Bagelen, 113 tahun lalu.
Tak sulit menemukan jejak orang Jawa di Tanah Sumatera, khususnya di Lampung yang menjadi daerah tujuan transmigrasi pertama di Indonesia.
Di sejumlah kabupaten, desa, dan kecamatan, banyak yang memiliki nama persis sama dengan nama daerah di Jawa.
Di Kabupaten Pringsewu, Lampung, misalnya, terdapat kecamatan dengan nama Ambarawa, Pardasuka, Sukoharjo, dan Banyumas.
Di Kota Metro terdapat kecamatan dengan nama Bantul yang sebagian penduduknya merupakan keturunan transmigran asal Yogyakarta.
Transmigrasi pertama kali di Indonesia dilakukan di Desa Bagelen, tahun 1905.
Namun, bukan Kabupaten Pringsewu atau Kota Metro−dua daerah yang banyak dihuni keturunan transmigran−yang menjadi daerah pertama yang menjadi cikal bakal munculnya transmigrasi di Tanah Air.
Adalah Bagelen, sebuah desa yang saat ini menjadi bagian dari Kecamatan Gedong Tataan, Kabupaten Pesawaran, Lampung, yang menjadi daerah pertama tujuan transmigran.
Sekilas desa ini tidak terlalu ramai dibandingkan dengan daerah transmigran lainnya, seperti Metro dan Pringsewu.
Permukiman asli transmigran Bagelan juga tak tersisa.Namun, secara historis, desa itu punya peran penting.
Di desa itu pulalah dibangun Museum Nasional Ketransmigrasian yang diresmikan pada 12 Desember 2004.
Transmigrasi pertama kali di Indonesia dilakukan di Desa Bagelen, tahun 1905. Pada masa itu, transmigrasi diinisiasi Pemerintah Hindia Belanda.
Namun, saat itu namanya adalah program kolonialisasi.
Sebanyak 155 keluarga dari Keresidenan Kedu, Jawa Tengah, dipindahkan ke Lampung untuk perluasan daerah perkebunan yang dikelola Pemerintah Hindia Belanda di luar Jawa.
Para transmigran itu datang ke Lampung dengan naik kapal laut dari Pelabuhan Tanjung Priok dan bersandar di pelabuhan kecil di kawasan Teluk Betung, Bandar Lampung.
Kini, kawasan yang dulunya pelabuhan itu berubah menjadi tempat pendaratan ikan para nelayan di Teluk Lampung serta pasar ikan.
Dari Teluk Betung, para transmigran berjalan kaki selama dua hari menuju sebuah desa yang diberi nama Bagelen.
Nama itu persis seperti nama wilayah Kabupaten Purworejo (dulu disebut Bagelen), yang menjadi bagian dari Keresidenan Kedu.
Saat ini, keturunan para transmigran itu tersebar ke sejumlah daerah di Lampung, antara lain Kabupaten Tanggamus, Pringsewu, dan Metro.Pemberian nama yang sama persis itu bukan tanpa alasan.
Pemberian nama daerah yang persis sama dilakukan untuk mengobati rindu para transmigran dengan daerah asalnya. Alasan lainnya agar mereka merasa tetap berada di Jawa meskipun telah pindah.
Dengan begitu, mereka tetap betah di Lampung.Semula para transmigran asal Keresidenan Kedu ini hendak dikirim ke Banyuwangi.
Namun, daerah di pesisir Timur Jawa ini dianggap tidak cocok sebagai daerah tujuan karena transmigran bisa saja kembali ke daerah asalnya.
Keresidenan Lampung yang berada di ujung Sumatera dianggap cocok karena masih banyak lahan kosong.
Selain itu, mereka juga harus menyeberang lautan sehingga tak mungkin akan kembali ke daerah asal.
Agar betah, setiap kepala keluarga diberi bantuan berupa 20 gulden, perlengkapan pertanian, dan alat masak.
Setelah transmigrasi pertama tahun 1905, orang-orang dari Jawa terus dipindahkan ke Lampung.
Menurut cacatan Museum Nasional Ketransmigrasian, sepanjang tahun 1905-1943 terdapat 51.000 kepala keluarga yang dipindahkan dari Jawa ke Lampung.
Saat ini, keturunan para transmigran itu tersebar ke sejumlah daerah di Lampung, antara lain Kabupaten Tanggamus, Pringsewu, dan Metro.
Mungkin karena kurang dana dan persiapan dilakukan serba tergesa-gesa, lokasi transmigrasi di Mesuji, Lampung Utara ini, 1985, kelihatan gersang.
Hingga kini, keturunan para transmigran itu tidak hanya bisa ditemui di Pesawaran, Pringsuwe, dan Tanggamus.
Mereka telah menyebar dan menetap di sejumlah kabupaten di Lampung, antara lain Lampung Timur, Pesisir Barat, Lampung Barat, Lampung Utara, Tulang Bawang, dan Tulang Bawang Barat.
Desa yang dihuni keturunan generasi kedua dan ketiga warga transmigran asal Jawa Tengah dan Yogyakarta itu tetap melestarikan kesenian karawitan Jawa.
Di Desa Tirta Kencana, warga suku Bali hidup berdampingan dengan warga suku Jawa dan Lampung.
Para transmigran menemui kenyataan bahwa mereka datang dari beberapa daerah, berlatar belakang suku yang beragam, dan harus bertetangga dengan warga asli Lampung.
Mereka saling melihat, berkomunikasi, saling mengenal, lalu berbaur.
Hari ini, tahun 2022, satu abad kemudian, tepatnya 117 tahun sejak di mulainya transmigrasi,
77 tahun usia Indonesia Merdeka, dampak transmigrasi sangat terasa.
Pembangunan dan populasi penduduk meningkat tajam di Sumatera.
Terutama di Lampung, Riau dan Aceh habitat Harimau dan Gajah makin sempit, satwa liar lain juga terhimpit, termasuk Orangutan Sumatera.
Di Bali dan Jawa kita telah kehilangan Harimau, mereka punah oleh jaman dan keserakahan manusia yang juga ciptaan Tuhan.
Tahun ini kita bangga, karena pemerintah telah memutuskan Ibukota baru di Kalimantan, dan DPR juga telah menyetujui, Ibukota baru bernama Nusantara.
Jangan lupa bahwa kita telah pindah ke habitat Orangutan Kalimantan yang memiliki tiga Sub Spicies.
Di sana juga ada Anoa dan satwa liar langka lainnya, mereka di lindungi oleh undang – undang, tapi akan mampukah undang – undang melindungi satwa liar di Kalimantan ?
Saya tidak yakin dan kita tunggu saja 50 tahun mendatang.
Konflik antara satwa liar yang dilindungi dengan nanusia pasti terjadi.
Apa lagi pada periode pemerintahan presiden Jokowi menggabungkan Departemen Kehutanan dengan Departemen Lingkungan Hidup menjadi Kehutanan, Lingkungan Hidup dan Konservasi (KLHK).
Dampak Nusantara baru akan terasa dua puluh tahun ke depan, saat itu kita semua telah tiada.
Kita akan wariskan konflik manusia dengan satwa liar pada anak cucu kita, seperti halnya di Sumatera saat ini.
Apa yang terjadi di Sumatera hari ini, semua adalah warisan para orang tua kita, para pejabat dan pemimpin nangsa yang telah berpulang.
Minggu (23/01/2022)
Oleh :
Singky Soewadji
– Pemerhati Satwa Liar
– Koordinator APECSI
(Aliansi Pecinta Satwa Liar Indonesia)
“Kau Peduli, Kau Lestari”
