Arief Fathoni Wakil Ketua DPRD Kota Surabaya (FOTO: JB01)

JURNALBERITA.ID – SURABAYA, Wakil Ketua DPRD Kota Surabaya Arif Fathoni menanggapi terkait maraknya sengketa lahan antara warga dengan  korporasi  di Surabaya. Menurut Arif Fathoni meningkatnya konflik agraria ini seiring dengan meningkatnya harga tanah di kota Surabaya merupakan salah satu penyebabnya.

“Jadi itu rumus yang lazim ketika harga tanah naik maka peluang terjadinya konflik pertanahan juga makin terbuka lebar,” kata Thoni, Senin (14/07/2025).

Oleh karenanya, menurut dia disamping memiliki dokumen yuridis, warga pemilik tanah di Surabaya harus juga melakukan penguasaan fisik atas tanah tersebut.

“Itu bisa melakukan pemagaran pemasangan papan nama dan lain-lain sebagainya,” ujar dia.

Dia juga mengatakan, sehingga tanah yang dimiliki tidak diakui atau diserobot oleh pihak lain baik itu korporasi maupun badan usaha milik negara seperti KAI yang memiliki aset Berdasarkan  Undang – Undang Nasionalisasi Aset  tahun 1960.

“DPRD sering mendapatkan pengaduan warga pemilik petok D  belum dikonversi menjadi hak, tetapi tiba-tiba persil yang dimilikinya telah terbit sertifikat hak milik atas nama orang lain, memang  kita berlaku hukum positif,” ungkap Thoni.

Artinya, menurut legislator partai  Golkar ini, sertifikat hak milik itu dianggap benar oleh undang – undang oleh negara sampai pengadilan memutuskan lain.

Namun pada problem tata cara beracara hukum perdata ini, ia menilai terlalu melelahkan untuk ukuran para pencari keadilan yang kurang beruntung dari  sisi ekonomi.

“Ada proses peradilan tingkat pertama yang memakan waktu paling cepat 6 bulan sejak disidangkan terus ada mekanisme banding, ada mekanisme kasasi, peninjauan kembali yang itu cukup menguras energi dan pikiran oleh para pencari keadilan,” kata Mas Thoni.

Maka dari itu, ia berharap kantor pertanahan BPN 1 dan 2 maupun Kanwil BPN Jawa Timur yang ada di Kota Surabaya mempunyai bidang yang bernama bidang sengketa

“Saya berharap di momen – momen tertentu ketika ada sengketa agraria antara warga dengan korporasi, mereka (BPN) sebenarnya memiliki buku  warkah untuk dilihat bagaimana mekanisme jual belinya, bagaimana mekanisme peralihannya,” kata Mas Thoni.

Dari situ, ia kembali berharap BPN mengambil diskresi tanpa harus menunggu putusan pengadilan yang itu sama halnya dengan ada tanah warga sudah bersertifikat hak milik namun tiba-tiba tercatat di Simbada.

“Proses pencatatan itu sejak tahun 90-an sehingga pejabat yang sekarang tidak berani mengeluarkan itu dari Simbada karena takut bermasalah hukum di kemudian hari,” ungkap Mas Thoni

Terhadap hal itu, menurut ia agar tidak melalui proses peradilan yang melelahkan atau menempuh pengadilan cepat yang ditentukan oleh surat edaran Mahkamah Agung memaksimalkan kerugiannya dibatasi. “Ini menjadi introspeksi kita semua,” tuturnya.

Untuk itu, harapannhya Mahkamah Agung juga membuat surat edaran terhadap konflik agraria antara masyarakat dengan korporasi yang sebaiknya juga tidak melihat ganti rugi nilai kerugian yang disengketakan.

“Tetapi itu bisa masuk dalam proses peradilan cepat karena melihat para pihaknya bukan dari nilai kerugian  yang disengketakan sehingga masyarakat yang mencari keadilan itu bisa mencari keadilan yang efektif dan efisien,” beber Thoni. (*JB01)

By JB01

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *