JURNALBERITA.ID – SURABAYA, Belakangan marak banyaknya satwa liar yang dilindungi menjadi satwa peliharaan bahkan juga diperjualbelikan. Kondisi ini menjadi perhatian serius bagi para pemerhati lingkungan dan satwa liar.
Melihat semakin banyaknya masyarakat terutama kalangan atas yang memiliki gaya hidup memelihara satwa liar sebagai hewan peliharaan, Aktifis Hak Asasi Manusia Haris Azhar menilai perlu adanya kebijakan hukum yang tegas.
Karena selain populasinya yang sedikit, menjadikan satwa liar sebagai hewan peliharaan juga cukup berbahaya.Jadi masyarakat orang kaya yang luar biasa kaya itu kekayaannya jadi kebutuhannya aneh-aneh.
Mungkin bisa saja kalau kita sudah punya habitat atau populasi yang cukup. Tapi kalau kita populasinya masih terbatas, lalu mau punah, lalu kemudian mereka menjadi hewan peliharaan itu yang bahaya. Itu dzalim namanya,” .
Oleh karena itu, dirinya menilai, perlu ada kebijakan yang tegas dan pelaku perdagangan satwa liar juga perlu ditindak secara hukum serta dihukum seberat-beratnya.
Seperti kita ketahui, dalam hal ini Komisi IV DPR RI juga tengah melakukan revisi terhadap Undang-undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAHE).
Kami mendukung upaya penguatan regulasi pengawasan dan pengendalian pemanfaatan tumbuhan satwa liar, salah satunya melalui revisi UU 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya yang tengah di bahas DPR serta penguatan anggaran untuk upaya konservasi tersebut.
Selain melalui regulasi dan pentingnya instrumen hukum dalam melawan perdagangan satwa liar, tambahnya, keterlibatan masyarakat juga sangat diperlukan terutama masyarakat yang hidupnya dekat dengan habitas satwa liar. Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan harus segera mengevaluasi Ijin yang sudah dikeluarkan, jika perlu cabut perijinan yang tidak sesuai tegasnya.
“Banyak hal yang kita temukan misalnya masyarkat tidak tau itu dilindungi lalu kemudian mereka mengkonsumsi atau bahkan memburu dan sebagainya. Itu harus diberi tahu atau disensitifkan lah kepada masyarakat,” tandasnya.
Pemeliharaan satwa dengan tujuan kesenangan telah diatur pada Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa Liar (TSL).
Bahwa tumbuhan dan satwa liar untuk keperluan pemeliharaan untuk kesenangan dapat dilakukan terhadap jenis yang tidak dilindungi, dan kegiatan pengembang biakan.
Menurut Haris, pemberian ijin itu kontroversif, dengan adanya ijin satwa bisa dikuasai diluar habitatnya. padahal paska ijin dikeluarkan pemantauan lemah karena ijin marak.
Belum lagi Haris menilai, ada masalah, siapa yang memantau pemberian ijin keluar tersebut? Apa ada quota? Apa selama lamanya bisa dikuasai perseorangan? Apa jangan-jangan ini di anggap solusi karena habitat satwa dibabat utk industri tambang dan lain-lain?! dia mempertanyakan.
Fairness (keadilan) tidak bisa diselesaikan sekedar dengan ijin. Ijin hanya teknikalitas hukum. Tetap harus diuji rejim pemberian ijin terhadap penguasaan satwa.
Indonesia dikepung rejim ‘ijin’ dari mulai tambang, perkebunan, kaki lima, pencalonan kepala negara, hingga satwa. Seolah ada ijin sudah adil dan etis. Pdhal ijin hanya kamuflase atas ketidak adilan, bebernya.
Kondisi satwa liar yang dikuasai dan diperjualbelikan diluar habitatnya makin mengkhawatirkan. Semakin negara sekedar menjadi produsen ijin, bukan menjaga habitat, padahal ini tugas utama negara, tegas Ketua Kontras ini. (JB01)
