JURNALBERITA.ID — SURABAYA, Kerusuhan seolah menjadi kebiasaan tidak baik bagi suporter Persebaya sejak kembali ke kancah sepak bola tanah air pada 2017. Tiap tahun terjadi, membawa korban tergusurnya pelatih, manajer, sampai kerugian puluhan miliar.
Bahkan, terakhir CEO Persebaya Azrul Ananda mundur pasca kerusuhan pada 15 September lalu setelah Persebaya kalah 1-2 dari Rans Nusantara FC di Gelora Delta Sidoarjo.
Sebagaimana diketahui, Azrul Ananda mengambil alih Persebaya mulai awal 2017. Pasca Persebaya dipulihkan keanggotaannya oleh PSSI dan bisa berlaga di Liga 2.
Dimatikan selama bertahun-tahun, Persebaya seperti mobil mogok. Bahkan tidak punya ban saat itu. Hutang di sana-sini. Perusahaan potensial sponsor enggan memberikan dukungan karena cap suporter yang masih negatif.
Hingga akhirnya Persebaya bisa berjalan, mengarungi Liga 2 dengan lika-likunya. Termasuk sudah harus menghadapi demostrasi besar pada Mei, Bonek menuntut pelatih Iwan Setiawan dipecat.
Manajemen Persebaya menuruti desakan itu, Iwan pun didepak diganti Alvredo Vera. Sukses, Persebaya lolos ke babak delapan besar hingga akhirnya juara Liga 2 dan promosi Liga 1.
Namun, bukan berarti rezim kepelatihan Vera mulus. Pada pertandingan terakhir babak 16 besar Grup C Liga 2 di Gelora Bung Tomo, Persebaya kalah 0-1 dari Kalteng Putra. Hasil itu membuat Bonek ngamuk, masuk ke stadion dan membuat kerusuhan. Kerusakan dan denda menjadi beban Persebaya karenanya.
Alvredo Vera dan Chairul Basalamah, duet pelatih-manajer yang pada 2017 disanjung setinggi langit karena prestasinya membawa Persebaya promosi Liga 1, menjadi pesakitan. Suporter menuntut mereka dipecat meski liga masih panjang. Manajemen tidak bisa berbuat apa-apa, Jajang Nurjaman dan Candra Wahyudi dayang menggantikan Vera-Abud (sapaan Chairul).
Di stadion, bahkan terjadi dua kerusuhan selama 2019. Pertama pada 19 Juni ketika Persebaya bermain imbang 1-1 melawan Madura United di babak delapan besar Piala Indonesia. Pertandingan dihentikan beberapa menit sebelum laga berakhir.
Kerusuhan di stadion kedua pada 2019 terjadi pada 29 Oktober. Ketika itu, Persebaya tertinggal 2-3 dari PSS Sleman dalam matchday ke-25. Suporter masuk ke lapangan, melakukan perusakan, dan pembakaran. Untuk memperbaiki stadion saja, Persebaya menghabiskan lebih dari 500 juta saat itu.
Plus kena pertandingan usiran tanpa penonton sampai akhir musim. Kerugian yang dialami Persebaya pada 2019 diyakini mendekati angka Rp 20 miliar.
Rangkaian kerusuhan di dalam maupun luar stadion itu, secara konsisten menggerogoti kesehatan keuangan Persebaya. Diumumkan dalam akun Instagram resmi mereka @officialpersebaya, kerugian akibat kerusuhan di Sidoarjo tembus miliaran Rupiah. Itu termasuk denda, pembenahan stadion, hingga kerugian karena hukuman lima pertandingan home tanpa penonton dari Komisi Disiplin PSSI.
Sekretaris Tim Persebaya Ram Surahman memperkirakan akibat kerusuhan dalam laga lawan Rans Nusantara FC diperkirakan sekitar Rp 15 miliar.
Rincian sumber tersebut, kerugian Rp 5 miliar dari nilai promosi yang diberikan kepada para sponsor. Kapal Api, Kings Wallet, Exta Joss, MPM Honda, dan Universitas Muhammadiyah Surabaya. Semuanya mendapatkan benefit dalam pertandingan.
Nah, benefit yang diberikan langsung kepada penonton tidak bisa diberikan lagi. Sampling produk, brosur, dan interaksi lainnya dengan fans hilang. Pun demikian halnya dengan umbul-umbul.
”Penonton rata-rata sekitar 30 ribu per pertandingan di Gelora Bung Tomo, hitungan kami kerugiannya mencapai Rp 1 miliar setiap game untuk benefit sponsor, kalau lima game tinggal mengalikan saja,” jelas Cak Ram demikian biasa disapa.
Kerugian lainnya berasal pendapatan tiket. Semisal penonton 25 ribu per laga, seperti halnya rata-rata penonton di GBT musim ini, kerugian bisa mencapai 9,4 miliar untuk lima laga. Sebagai catatan, tiket pertandingan Persebaya saat ini Rp 75 ribu untuk ekonomi. Dan Rp 250 ribu untuk VIP.
Plus denda PSSI dan biaya perbaikan stadion Gelora Delta Sidoarjo, total kerugian bisa melebihi Rp 15 miliar.
Rp 15 miliar adalah angka yang sangat besar. Rezim Azrul meski diam, tidak mengecam secara langsung kerusuhan yang dilakukan suporternya, bisa dipastikan mengalami kesulitan pengembangan bisnis karena terus diganggu oleh kondisi tersebut. ”Mungkin cara-cara kami mengelola Persebaya tidak bisa diterima oleh teman-teman Bonek,” kata Azrul saat mengumumkan pengunduran diri.
Kalimat pendek yang bisa merangkum demonstrasi dan kerusuhan yang terus dialami Persebaya sejak 2017. Meski, prestasi tim sebenarnya selalu bagus di akhir musim. Selalu masuk lima besar, papan atas. (*JB01)