JURNALBERITA.ID – JAKARTA,Gerakan reformasi yang dipelopori mahasiswa menumbangkan Orde Baru yang dipimpin Soeharto pada 21 Mei 1998. Rezim ini dinilai ororiter, korup dan nepotisme.
Karena itu, mahasiswa menuntut dilakukan reformasi politik dan hukum serta melenyapkan praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Reformasi belakangan ini tampaknya sudah bergeser dari tujuan awal. Demokratisasi di semua bidang kehidupan secara perlahan sudah mulai meredup. Masyarakat sudah mulai takut menyatakan pendapatnya secara terbuka baik di media massa maupun di media sosial.
BACA JUGA:
Hal itu juga ditunjukkan dalam laporan The Economist Intelligence Unit (EIU) yang bertajuk Indeks Demokrasi 2020. Dalam rilisnya disebutkan, indeks demokrasi Indonesia menduduki peringkat ke-64 dengan skor 6.3. Hasil ini merupakan angka terendah yang diperoleh Indonesia dalam kurun waktu 14 tahun.
Hasil tersebut mengindikasikan demokrasi di Indonesia terus menurun. Hal ini tentu tidak sejalan dengan cita-cita reformasi yang menginginkan demokratisasi di semua bidang kehidupan.
Di bidang hukum juga masih dirasakan tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Praktek hukum seperti ini secara substansi tidak jauh berbeda dengan hukum di era Orde Baru.
Paling memprihatinkan, anak kandung reformasi, KPK makin melorot taringnya dalam memberantas korupsi. Bahkan KPK sebelumnya dikenal galak mengawasi para koruptor, belakangan ini orang-orang di KPK justeru harus diawasi agar tidak korupsi.
Semua itu terjadi karena adanya upaya pelemahan KPK. Revisi UU KPK dinilai menjadi titik awal melemahnya KPK. Bahkan kisruh 75 pegawai KPK yang tidak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK) juga kelanjutan dari hasil revisi UU KPK.
Jadi, upaya pelenyapan praktek KKN, khususnya korupsi, menjadi anti klimas. Dengan lemahnya KPK, maka sulit berharap korupsi dapat diminimalkan di negeri tercinta.
Jadi, cita-cita reformasi makin jauh perwujudannya. Demokratisasi di semua bidang kehidupan dan melenyapkan KKN terkesan sudah diabaikan.
Reformasi hanya indah di atas kertas. Itulah realitas kekinian yang memiluhkan. Ada rasa berdosa telah abai atas perjuangan mahasiswa.
Oleh: M Jamiluddin Ritonga
Pengamat Komunikasi Politik Universitas Esa Unggul