
JURNALBERITA.ID – JAKARTA, Unggahan foto mantan Komisioner Komnas HAM, Natalius Pigai dan gorila diakun facebook milik Ambroncius Nababan berbuntut panjang. Foto tersebut dinilai tidak etis dan cenderung menghina Natalius dan masyarakat Papua.
Menurut Nababan, unggahan itu dilatarbelakangi pernyataan Natalius yang menolak vaksin Covid-19 Sinovac dan lebih memilih membeli vaksin dari luar negeri.
Menanggapi hal itu, pengamat komunukasi poliik Universitas Esa Unggul, Jakarta, Jamiluddin Ritonga berpendapat, bahwa kasus tersebut sebenarnya sering terjadi di Indonesia. Apa yang diwacanakan seseorang tidak direspon, tapi lebih pada siapa yang berwacana. Akhirnya yang diserang pribadi siapa yang menyampaikan wacana itu.
Jamiluddin mencontohkan, misanya kasus SBY dan AHY dengan Yusuf Leonard Henuk juga demikian. Ketika SBY Mewacanakan terkait vaksin Covid-19, Yusuf Leonard Henuk menyebut SBY bodoh dan sok suci.
“Saat AHY mewacanakan jatuhnya pesawat Sriwijaya Air, Yusuf Leonard Henuk menyebutnya bodoh,” ujar Jamiluddin, Selasa (27/01) di Jakarta.
CHANNEL JURNALBERITA
Saat seseorang mengkritik pemerintah, seperti Ribka Tjiptaning menolak di vaksin Covid-19, maka ia disebut penghianat dan tidak tahu diri, sambungnya.
“Contoh tersebut mengindikasikan, dalam berwacana di media massa dan media sosial kerap berujung serangan pada pribadi bagi yang berwacana. Kecenderungan ini tentu tidak sehat dalam perkembangan demokrasi di tanah air,” ujar Jamil sapaan penulis buku Tipologi Pesan Persuasif ini.
Padahal menurutnya, wacana di negara demokrasi idealnya menjadi sarana untuk mencari kebenaran sehingga bermanfaat bagi masyarakat .
Khusus pemerintah, wacana yang sehat dapat memberi masukan untuk pengambilan kebijakan atau mengkoreksi suatu kebijakan, tutur dia.
“Namun hal itu tidak terjadi karena wacana di Indonesia tidak menyerang pendapat seseorang, tetapi justeru menyerang orangnya,” tukasnya.
Wacana tidak sehat tersebut seyogyanya harus diubah dengan menyerang pendapatnya, bukan orangnya secara pribadi, imbuh Jamil.
“Kalau hal itu yang dilakukan, wacana di Indonesia akan produktif sehingga bermanfaat pada masyarakat dan pemerintah,” kata Dekan FIKOM IISIP Jakarta, periode 1996 – 1999 ini. (*JB01)