
JURNALBERITA.ID – SURABAYA, Komisi A DPRD Kota Surabaya mengundang beberapa pakar untuk pembahasan Pokok-pokok pikiran atas rencana perubahan Perda no 5 Tahun 2009, tentang Penyelenggaran Reklame. Gagasan perubahan ini berawal dari Diktum, mengingat bahwa ada perubahan UU no 12 tahun 2011 yang diubah menjadi UU no 15 Tahun 2019.
Hadir pula dua pakar yaitu DR Rusdianto Sesung , SH. MH dan Bambang Ariyanto, SH. MH., untuk membedah analisa awal di rapat internal komisi A bahwa masih ada beberapa hal yang tidak atau belum diatur dalam perda no 5 Tahun 2019 sehingga berdampak pada efektivitas penyelenggaraan reklame di kota Surabaya.
“Tidak ada ketentuan mengenai pengendalian dan penertiban persebaran reklame yang ada di kota Surabaya. Ketentuan ini merupakan salah satu yang krusial karena berkaitan dengan persebaran reklame yang harus memenuhi prinsip keselamatan, keamanan, ketertiban umum dan estetika kota,” papar Dr Rusdianto Sesung, SH. MH, Rabu (20/01) diruang rapat Komisi A, DPRD Kota Surabaya.
Dia juga menyampaikan bahwa batas waktu pembongkaran reklame juga belum diatur apabila masa berlaku SIPR telah berakhir dan jaminan pembongkaran seyogyanya juga diatur dalam bab tersendiri. Karena belum ada ketentuan mengenai kewajiban Iklan Layanan Masyarakat (ILM) terhadap reklame yang SIPR nya masih berlaku.
Namun demikian, kata Rusdianto, belum atau tidak menayangkan materi iklan oleh penyelenggara reklame, yang pada pokoknya agar reklame tidak boleh dibiarkan kosong atau tanpa materi reklame.
Kesempatan lain, Bambang Ariyanto menyoroti beberapa hal, diantaranya mulai konsiderans, misalkan bahwa prinsip perda itu haruslah berlandaskan 3 hal : landasan Filosofis, Sosialogis dan Yuridis.
Misalnya, lanjut Bambang, kalimat “ketentuan reklame agar lebih efektif” masih bias dan kurang jelas arahnya kemana. Apa yang membuat perda reklame ini dibutuhkan oleh masyarakat?, Tentu arahnya pada Penataan Estetika Kota atau pendapatan daerah
“Menurut saya, kriteria penyelenggara reklame adalah pemerintah, orang pribadi, badan usaha dan biro reklame. Di perda 5, pemerintah tidak masuk. Sistem Zonasi dalam rangka penataan reklame perlu didetailkan dan tegas misalkan kawasan umum, khusus, seletif atau kawasan tanpa reklame,” urai Bambang.
Juga perlu dipikirkan adanya perizinan yang disatukan dalam pelayanan unit terpadu sehingga bisa memangkas birokrasi yang terlalu panjang, sambungnya.
Dalam diskusi pembahasan Perda tersebut, bagaimana Kota Surabaya dengan sebutan SMART CITY ini. Kemudian Perda penyelenggaraan reklamenya benar-benar bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat, memberikan pelayanan publik yang efektif dan bisa memberikan perlindungan masyarakat.
Sementara kesempatan lain, Fatkur Rohman, salah satu anggota komisi A menyindir perihal masih banyaknya reklame yang justru menganggu estetika kota.
“Salah satu prinsip dasar penataan reklame adalah bagaimana tetap menunjang estetika kota, sehingga jika ini benar pengelolaannya justru akan aset dan daya tarik kota kita bagi wisatawan. Menurut saya, kalau perlu didetailkan di perda misalkan perihal Zonasi, ini agar lebih terarah dan sistematis,” kata Fatkur, wakil ketua Fraksi PKS.
Fatkur juga mendorong agar Perda ini dimungkinkan penuangan pasal terkait pemanfaatan teknologi IT dalam rangka penyelenggaraan reklame di kota Surabaya.
Fatkur mencontohkan, semisal memunculkan konsep semacam E-reklame. Sebagaimana sudah menjadi rahasia umum, di kota Surabaya masih sering dikeluhkan adanya reklame liar. Badan Pengelolaan Keuangan dan Pajak Daerah (BPKPD) Surabaya sering memberikan peringatan dan masih banyak pemilik reklame yang masih bandel dan akhirnya Satpol PP harus turun untuk menerttibkan.
“Konsep E-Reklame semoga bisa membantu pemercepatan deteksi secara teknologi IT ketika semisal Surat Izin Pendirian Reklame (SIPR) sudah habis masa berlakunya, bisa langsung ditindak dan tidak kucing-kucingan, ini implementasi Surabaya sebagai SMART CITY,” pungkas Fatkur. (JB01)