
JURNALBERITA.ID – SURABAYA, Pernyataan resmi pemerintah kota (Pemkot) Surabaya tentang surat ijo dimedia massa pada tanggal 27 Oktober 2020 ditanggapi pihak Komunitas Pejuang Surat Ijo Surabaya (KPSIS).
Ketua KPSIS, Harijono menyampaikan, bahwa pihaknya menilai Perda maupun Perwali yang diterbitkan oleh Pemkot Surabaya adalah suatu kewajaran sesuai dengan undang-undang nomor 1 tahun 2004 dan PP nomor 27 tahun 2014, tentang barang milik daerah sebagai acuannya.
“Atas kondisi kekosongan hukum dan kekacauan atas tanah masa penyerahan aset negara zaman Belanda berdasarkan Agrarische Wet Belanda. Dan hal ini sampai memberikan kepastian hukum bagi penghuninya sesuai UUPA tahun 1960 yang mencabut semua hak Belanda serta mendekler menjadi tanah negara dan tanah adat,” urai Harijono, Senin (02/11) di Hallo Surabaya, Jalan Kartini, Surabaya.
LIHAT JUGA CHANNEL JURNALBERITA
Pemerintah kota Surabaya sebagai badan hukum publik buakanya sebagai pemilik, demikian pula dengan negara republik Indonesia bukanlah pemilik dari tanah-tanah tersebut, papar dia.
Sehingga lanjut Harijono, pemerintah kota Surabaya tidak dapat menyewakan tanah seperti dijelaskan dalam pasal 44 dan 45, Undang-undang 5 tahun 1960 tentang pokok agraria yakni, hak sewa merupakan hak pakai yang mempunyai sifat khusus, maka disebut tersendiri.
“Negara tidak dapat menyewakan tanah, karena negara bukanlah pemilik tanah. Sementara Pemkot Surabaya masih menganut Agrarische Wet Belanda yang diatur dalam UUD dan telah dicabut dengan UUPA,” terang Harijono.
Dia menambahkan, sedang penerbitan Ijin Pegeloan Tanah (IPT) oleh Kota Madya Surabaya tanpa alas hak sehingga selalu disebutkan, Tanah Negara Hak Pengelolaan KMS yang tidak ada nomor dan tanggalnya. “Surat penrnyataan warga yang digunakan oleh Pemkot Surabaya untuk memohon SK HPL pada tahun 1997,” tegas Harijono.
Landasan hukum yang dipakai Pemkot Surabaya dengan mengeluarkan pernyataan di media massa yakni Perda nomor 1 tahun 1997 tentang IPL dengan dasar UUPA dan Peraturan Menteri Agraria nomor 9 tahun 1965 jo Peraturan Menteri Agraria tahun 1966. Peraturan ini seharusnya tidak bisa digunakan sebagai landasa hukum permohonan HPL melalui tanah negara, ungkapnya. (JB01)