
JURNALBERITA.ID – SURABAYA, Kebijakan pemerintah kota (Pemkot) Surabaya pada warga masyarakat untuk mematuhi protokol kesehatan di masa pandemi Covid-19 dengan memberlakukan berbagai sangsi. Baik sangsi sosial maupun sangsi denda hingga Rp 250 Ribu yang akan doberlakukan bagi pelanggar protokol kesehatan. Namun, bagi Pemkot Surabaya sendiri hingga saat ini masih menggodok aturan itu.
Anggota Komisi A DPRD Surabaya, Arif Fathoni tidak setuju jika kota Surabaya memberlakukan sanksi denda administratif berupa uang pada masyarakat yang melanggar aturan protokol kesehatan dengan tidak memakai masker.
BACA JUGA :
- SCWI Curigai Eri Cahyadi Gunakan Dana Bantuan Covid-19 Untuk Kampanye Pilwali
- Darmawan Siapkan Jurus Jitu Jerat Armuji
- Mahfud MD : Pemimpin Yang Dibiayai Cukong Akan Lahirkan Pemimpin Korupsi
Thoni menjelaskan, terkait dengan denda berupa sejumlah uang yang akan dibayarkan oleh pelanggar protokol kesehatan pihaknya tidak setujuh. Masalahnya ujar Thoni, bahwa kondisi ekonomi masyarakat yang masih sulit saat sekarang.
“Selain pademi yang masih belum jelas ujungnya, yang menghantam sektor kesehatan yang imbasnya juga menghantam sektor ekonomi yang pertumbuhannya melambat,” ujarnya.
Lanjut dia, banyak masyarakat yang mendaatkan pemutusan hubungan kerja, dirumahkan ataupun kalau masih bekerja gajinya dipotong separuh,” papar Thoni, Selasa (15/09) melalui sambungan teleponnya, saat dihubungi.
Sejak awal, anggota Komisi A yang membidangi hukum dan pemerintahan ini berpandangan bahwa penerapan sanksi pelanggar protokol kesehatan harus dibedakan dua subjek.
“Saya sepakat, kalau itu badan hukum yang tidak menjamin penerapan protokol kesehatan ditempat usahanya didenda. Silakan diberikan denda materi sebesar-besarnya. Karena akibat kelalaian itu, kemudian bisa saja di tempat tersebut menjadi klaster penularan Covid-19,” urai Ketua DPD 2 partai Golkar Surabaya ini.
Kalau kemudian denda ini diterapkan, pertama menurut dia, selain memberatkan warga, tidak menutup kemungkinan akan banyak resistensi dari masyarakat.
“Yang kedua, kalau kemudian ada denda sampai Rp 250 ribu apakah personil penegak Perda kita secara mental sudah siap?” tegasnya.
Pengenaan sanksi denda kepada masyarakat harus terlebih dahulu melalui tahapan-tahapan yang telah ditentukan. Ia meminta Pemkot Surabaya melaksanakan edukasi atau sosialisasi sebelum penerapan sanksi bagi warga yang tidak disiplin.
Jika hal itu tidak dijalankan, ia menilai untuk penerapan sanksi ini akan sulit di lapangan. Karena banyak pelanggar. Makanya perlu ada tahapan-tahapan dan sosialisasi bagi masyarakat terkait sanksi tersebut. Jangan sampai setelah aturan sanksi diberlakukan, sebagian besar warga Surabaya malah belum mengetahuinya.
Fathoni khawatir jika denda administrasif tersebut diberlakukan akan disalahgunakan aparat Satpol PP selaku penegak Perda.
“Mengingat sebagian besar pegawai Satpol PP itu pegawai kontrak. Artinya mereka tidak dibekali metode-metode penyidikan pegawai negeri sipil. Apakah kemudian tidak riskan di lapangan katakanlah denda Rp 250 ribu, apakah tidak kemudian di lapangan terjadi praktik-praktik yang justru bisa menurunkan wibawa dan kehormatan Satpol PP selaku penegak Perda,” ungkap dia. (JB01)