JURNALBERITA.ID – SAMPANG, Merasa tidak puas dengan kinerja aparat penegak hukum, utamanya Kejaksaan dan Pengadilan Kabupaten Sampang, saat menjatuhi hukuman terhadap terdakwa Amirudin.
Amirudin adalah salah satu nelayan asal Desa Banjar Talela, Kecamatan Camplong, Kabupaten Sampang Madura. LSM Laskar Pemberdayaan dan Peduli Rakyat (Lasbandra) layangkan surat pengaduan masyarakat kepada Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Komisi Yudisial (KY).
“Lasbandra masih belum puas atas apa yang disampaikan pihak oknum jaksa dari Kejari Dan ketua PN. Hal itu, terkait proses hukum dan peradilan perkaranya saudara Amirudin. Saat kami beraudiensi dengan mereka para penegak hukum,” ujar Rifai selaku Sekjen Lasbandra, Jumat (27/06) di Sampang.
BACA JUGA :
- DPC PDIP Surabaya Kutuk Keras & Adukan Pembakaran Bendera PDIP Ke-Kepolisian RI
- Pengajuan Anggaran Tak Disetujui Pemkot, Komisi A Panggil KPU Surabaya
- Kades Manjengan Klarifikasi Soal Data Tumpang Tindih Bantuan Sosial
Menurutnya, penanganan proses hukum yang diberikan Amirudin cacat hukum. Pasalnya, hak-hak terdakwa dinilainya tidak terpenuhi.
“Hak seorang tersangka dihilangkan dengan tidak adanya surat penetapan tersangka. Jelas, tersangka Amirudin tidak bisa melakukan praperadilan,” tegas Rifai.
Kondisi proses hukum ini, lanjut dia, saat pihaknya melakukan klarifikasi kepada pihak Kejaksaan maupun Pengadilan Negeri, justru mereka tidak memberikan jawaban Pasti.
Dengan begitu, Rifai menilai, justru dengan tanpa ada penjelasan yang pasti dari dua intstansi penegak hukum ini, secara tidak langsung mengakui jika dalam berkas-berkas terdakwa Amirudin tidak pernah dibuatkan surat penetapan tersangka dari pihak penyidik Satpolairud Polres setempat.
“Anehnya, ketika saya tanyakan soal tidak adanya surat penetapan tersangka Amirudin, mereka malah tidak bisa menjawab,” kata Rifai.
Tidak hanya soal administrasinya, dia menambahkan, dirinya juga menilai profesionalisme kedua penegak hukum di Sampang ini terindikasi menyalahi aturan yang ada. Yakni, adanya dugaan pelanggaran etik oknum hakim dan pelanggaran perilaku oknum kejaksaan saat penanganan perkara hingga putusan terdakwa Amirudin.
“Karena penanganan perkara terdakwa ditangani oleh oknum yang masih mempunyai hubungan kekeluargaan yaitu suami istri, antara oknum Jaksa (suami) dengan oknum hakim PN (istri),” terangnya.
Hal itu tentunya mencederai proses hukum, sebagaimana yang tertuang dalam keputusan bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI Tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim nomor : 047/KMA/SKB/IV/2009 – 02/SKB/P.KY/IV/2009, tentang penerapan 3.1 umum poin nomer 3,5 dan 6 dan dalam pasal 157 ayat 1,2 dan 3 KUHP bab XVI bagian ketiga acara pemeriksaan biasa, urai Rifai.
Dengan demikian, beber Rifai, indikasi kejanggalan proses peradilan lainnya, yakni adanya pelaksaan sidang yang dinyatakan sudah menjalani sidang terbuka sebanyak empat kali. Meski faktanya pihak terdakwa mengakui hanya menjalani satu kali persidangan terbuka.
“Anehnya lagi, saya melihat dalam putusan Pengadilan Negeri Sampang, terdakwa dikenakan denda senilai Rp 17 juta, tapi malah disuruh bayar Rp 15 juta. Karena sebelumnya, ada oknum aparat yuridis lain meminta untuk membayar senilai Rp 15 juta, terus Rp 2 jutanya ditanggung. Ya pikiran kami, oknum jaksanya kaya-kaya dong bisa talangi kekurangan dendanya terdakwa,” ungkap dia.
Oleh karenanya pihaknya akan melayangkan surat laporan aduan masyarkat tersebut ke Kejagung RI, sambung Rifai.
Seperti diketahui, bermula saat nelayan Amirudin tersandung kasus atas penggunaan jenis alat tangkap ikan jenis pukat hela. Kemudian, Amirudin diamankan oleh Satpolairud Polres setempat.
Dari perkara itu, terdakwa kemudian menjalani proses peradilannya hingga mendapat putusan dengan hanya membayar denda senilai Rp 17 juta, sebagaimana yang tertuang dalam petikan putusan Pengadilan Negeri Sampang.
Namun, setelah para oknum penegak hukum tersebut diklarifikasi, terkait proses dari awal penyidikan hingga putusan, mereka tidak memberikan keterangan yang jelas. Sehingga kemudian perkara ini dilaporkan kepada Kejagung dan Komisi Yudisial. (F1R/JB01)