
JURNALBERITA.ID – SURABAYA, Adanya dugaan tidak mengidahkan keluhan pasien (IR) yang berobat di IGD RS Katolik St. Vincentius a Paulo (RKZ) Jl. Diponegoro, Surabaya pada Selasa (07/04) bulan lalu, berbutut Dirut RKZ akan di Somasi. Surat Somasi yang akan dilayangkan pihak keluarga pasien (IR) ini, lantaran diduga pihak RKZ mengabaikan atau tidak fokus pada tahapan keluhan pasien, yang menderita sakit dibagian pinggang belakang dan perut.
Namun, pihak Instalasi Gawat Darurat (IGD) RKZ, justru melakukan tindakan medis dengan mengkarantina pasien di ruang isolasi Covid-19. Sehingga pihak keluarga pasien sempat syok, dan juga membuat kondisi pasien (IR) yang sempat stres waktu itu, hal ini diungkapkan pihak suami pasien (IR), Dr. Hadi Pranoto, SH, MH.

Atas tindakan medis tersebut, pihak suami Dr Hadi Pranoto, SH, MH yang berprofesi sebagai Advokad ini akan menuntut pertanggung jawaban Direktur Utama RKZ Surabaya dan segera akan melayangkan surat somasinya.
BACA JUGA :
- Sajian Data MBR & Non MBR Pemkot Surabaya Amburadul, Bukti Ketidaksiapan Pemkot Hadapi PSBB
- Ketua DPRD Surabaya Ungkap Rekam Jejak Pengawasan Komisi-Komisi, Tidak Perlu Pansus Covid-19
“Atas dugaan tidak fokusnya pada keluhan pasien, yang dilakukan pihak RKZ itu. Saya meminta pertanggung jawaban pada pihak manajemen RKZ. Karena, mereka tidak mengidahkan atau tidak fokus terhadap keluhan yang disampaikan istri saya,” tegas Hadi, Jumat (08/05) saat ditemui dipelataran RS Graha Amertha Dr Soetomo, Surabaya.
Hadi menyesalkan dengan tindakan medis yang dilakukan oleh pihak RKZ, karena setelah menjalani perawatan di ruang isolasi sementara, diagnosa awal yang dilakukannya tidak fokus pada keluhan yang disampaikan pasien. Malah mereka (RKZ) melakukan tindakan mengkarantina pasien di ruang isolasi Covid-19.
Tidak hanya itu sambung Hadi, istrinya sempat juga dilakukan rapid tes dan tes swab laboratorium, namun hasilnya dinyatakan negatif Covid-19 oleh pihak rumah sakit.
“Harusnya, keluhan pasien itu didengarkan atau diagnosa fokus pada keluhan yang disampaikan pasien. Bukannya buru-buru untuk mengkarantina. Kenapa, kok langsung diputuskan untuk masuk ruang isolasi Covid-19, padahal hasil rapid tes dan swab lab nya negatif Covid-19. Tindakan medis tersebut, justru membuat istri dan keluarga saya syok,” terangnya.
Pasien sempat menjalani karantina di ruang isolasi, di ruang VIP untuk pananganan Covid-19 selama 4 hari. Atas ketidak jamanan tindakan medis tersebut, pihak keluarga memindahan pasien (IR) ke RS Graha Amertha Dr Soetomo, Surabaya.
Padahal lanjut Hadi, saat itu tidak ada sama sekali gejala yang ditunjukkan istrinya terinfeksi Covid-19. Kenapa harus dirawat diruang isolasi?
“Keluhannya kan bukan Covid-19 dan tidak ada gejala Covid-19 pada istri saya, hanya sakit dibagian pinggang dan bagian perutnya dan itu disampaikan pada pemeriksaan awal. Keputusan karantina itu, justru membuat pasien semakin parah kondisinya, dan keluarga kami juga syok. Seharusnya istri saya itu dirawat diruang pasien dengan sakit biasa, bukan Covid-19” jelas Hadi.
Oleh karenanya, dirinya tengah mempersiapkan langkah hukum untuk menuntut pertanggung jawaban direktur Utama RKZ dengan melayangkan surat somasi kepada Dirut RKZ, Surabaya.
Hadi menambahkan, RKZ ini adalah bagian dari institusi kesehatan, yang harusnya melayani kesehatan masyarakat dengan baik, bukannya melakukan tindakan medis yang membuat syok dan dapat merugikan pasien.
“Selama 4 hari dikarantina diruang isolasi Covid-19. Habis dari ruang isolasi Covid-19, kemudian istri saya baru dipindahkan dan dirawat diruang pasien penyakit bisa,” jeas Hadi.
Disinggung soal biaya yang keluarkan, Hadi mengaku telah mengeluarkan dana perawatan sebesar Rp 30 jutaan lebih. “Secara materiil saya dirugikan Rp 30 jutaan, belum lagi kerugian non materiil yang tidak ternilai harganya. Oleh karenanya, saya meminta pertanggung jawaban pihak manajemen RKZ yang telah merugikan keluarga saya,” kata pria yang berprofesi sebagai Lawyer ini.
Penanganan Covid-19 itu kan ada aturannya, dan jika pasien itu dinyatakan Covid-19, maka penanganannya akan menjadi tanggung jawab Pemerintah. “Aturan pananganan Covid-19 setahu saya, adalah menunjukkan gejala Covid-19. Apakah itu pasien OTG, ODP maupun PDP, kalau pihak keluarga pasien yang minta untuk dikarantina,tentu tanggung jawab kami. kita yang bertanggung jawab kami,” ujarnya.
Dan pungutan biaya perawatan medis yang ditagihkan oleh pihak RKZ adalah pungutan liar dan tidak berdasar hukum, tegas Hadi.
Langkah Hukum akan ditempuh Hadi Pranoto, guna menuntut pertanggung jawaban atas kerugian materiil dan non materiil yang diterimahanya, atas perkara tindakan medis dugaan tidak mengidahkan keluhan pasien yang berobat di RKZ tersebut.
BACA JUGA :
- Pemkot Surabaya Belum Optimal Tangani Covid-19, Dewan Sarankan Ada Road Map P2KR
- Prioritas Brantas Mafia Tanah, Adik Kandung Mahfud MD Resmikan Kantor Law Firm
Sementara, secara terpisah saat dikonfirmasi media ini, bagian Hubungan Masyarakat (Humas) RKZ Surabaya, Dr Agung K.J menyampaikan, upaya represif yang dilakukan oleh rumah sakit sudah sesuai dengan anjuran protokol penangan Covid-19 dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
“Ya, tindakan medis RKZ sudah menjalankan sesuai dengan protokol kesehatan penanganan Covid-19 dan sesuai dengan prosedur Kementerian Kesehatan RI,” terangnya.
Kalau ada pasien yang datang berobat ke RKZ, maka tindakan medis awal dengan pemeriksaan secara koperhensif dari pihak rumah sakit. Tindakan medis yang pertama dengan menjalankan protokol kesehatan pananganan Covid-19, baru dilakukan tindakan medis selanjutnya. Dan tindakan medis itu, juga berlaku untuk semua pasien yang berobat di RKZ, urai Agung.
Lanjut dia, justru pihak keluarga pasien kok tidak mengadukan pada pihak rumah sakit, kalau itu tidak memuaskan pihak keluarga pasien (IR). “Ya, harusnya mereka kalau merasa tidak puas, dengan tindakan medis di RKZ, pihak keluarga mengadukan ke rumah sakit bukan ke media,” tutur Agung.
Pria berkacamata ini juga mengakui, bahwa pasien memang semat berobat di RKZ pada tanggal 07 April 2020 bulan lalu, dan keluar dari RKZ atas rekomendasi dari dokter yang menanganinya saat itu.
“Informasi yang didapat, bahwa pasien juga sempat dirawat di RS Husada Utama pada tanggal 17 April, Namun pasien kembali dirawat di RKZ dua hari setelah dari RS Husada Utama, yakni pada tanggal 19 April 2020,” jelas Agung.
Agung menambahkan, ini kan aneh, kalau memang tidak puas dengan perawatan medis di RKZ, harusnya tidak perlu balik lagi untuk dirawat disini. “Kenapa pasien (IR) itu balik untuk dirawat di RKZ, kalau pihak keluarganya merasa tidak puas dengan tindakan perawatan medis di RKZ,” tukas Agung. (JB01)