
JURNALBERITA.ID – SURABAYA, Beberapa hari ini beredar informasi di sosmed tentang kisah guru honorer (mengajar selama 22 tahun, red) di Surabaya yang kondisinya terkulai tidak berdaya, karena mengalami pembekuan darah di otak. Namanya Eko Sumantoyo, bapak dari lima orang anak ini tidak lagi bisa mengajar karena kondisi saat ini sakit. Sang istri, bu Siti mencoba menyambung hidup dengan menjadi pengupas bawang di Pasar Manyar. Penghasilan beliau hanya sekitar Rp 20.000 hingga Rp 30.000 per hari. Anak pertamanya turut membantu ekonomi keluarga menjadi supir ojek online dengan penghasilan yang tidak seberapa. Warung kecil di depan rumah diharapkan dapat menambah penghasilan keluarga.
Saya mengetahui informasi tentang Pak Guru Eko dari grup Whatss App pada hari Sabtu, 07 Maret 2020 malam. Mengetahui adalah guru honorer, maka kontak guru honorer yang saya kenal untuk memastikan kebenaran beritanya. Selanjutnya, dihari minggu siang, saya menugaskan staf saya untuk melihat kondisi tempat tinggal beliau. Dan benar, dari informasi yang diperoleh oleh staf saya, bahwa memamg betul beliau bertempat tinggal di Manyar Sabrangan dan kondisi rumah tidak layak huni. Plafon atap terbuka disana-sini. Genteng pun tidak ada, digantikan oleh terpal yang tentunya tak mampu menahan laju air jika hujan. Atapnya bocor. Pada saat staf saya berkunjung kesana, Pak Eko sudah dirawat di Rumah Sakit Haji berkat penanganan oleh Kelurahan, Dinas Sosial dan Puskesmas.
Malamnya usai waktu Maghrib saya datang menjenguk. Saya bertemu dengan istrinya dan tiga orang anaknya. Pak Eko terbaring lemah dan sempat respon saat saya sapa. Sempat ngobrol dengan istri dan anak sulungnya. Mereka menceritakan pekerjaan dan awal mulai pak Eko sakit dan tidak lagi bekerja. Kisahnya membuat saya merenung panjang dan menulis ini.
Kisah dan kondisi Pak Eko sudah memantik kepedulian banyak pihak. Tertu ini tidak lepas berkat kebaikan dan doa Pak Eko dan keluarganya. Pemkot dan DPRD Kota Surabaya juga sudah merespon. Beberapa hal sudah didampingi. Pak Eko sudah dirawat di Rumah Sakit Haji dengan biaya penuh dari Pemkot. Status pasien menggunakan SKTM. Otomatis kedepan BPJS yang tidak bisa digunakan dapat diaktifkan kembali. Sedangkan rumah beliau masuk kriteria perbaikan rumah tidak layak huni akan dibangun Pemkot.
Berkat pemberitaannya viral, banyak yang mengetahui kisah Pak Eko dan banyak pula yang tergerak untuk peduli dan membantu. Saya mengucapkan terimakasih atas perhatian semua warga dan lembaga sosial yang telah mengulurkan bantuan kepada Pak Eko dan keluarga.
2 Catatan Penting dari Kisah Pak Eko
Disamping bantuan yang sudah dan akan diberikan Pemkot kepada Pak Eko perlu kita support dan kawal bersama, ada yang dua hal penting yang menjadi catatan dalam kisah Pak Eko, yang perlu menjadi renungan dan bahan bagi kita utamanya pembuat kebijakan untuk nasib guru honorer di kota ini.
PERTAMA, terkait dengan putra-putri beliau. Pemkot harus memastikan anak-anaknya dan pendidikan anak-anaknya harus dikawal dengan sungguh-sungguh sebagai bentuk perhatian Pemkot terhadap guru yang telah mengabdi selama 22 tahun di sebuah SD Negeri di Surabaya. Harus dipastikan dan dikawal bersama agar kelima putra putri Pak Eko dapat menuntaskan jenjang pendidikan minimal hingga SMA/SMK atau bahkan perguruan tinggi. Anak sulungnya tengah ambil cuti kuliah karena harus bantu keluarganya, anak keduanya duduk dibangku kelas 12 SMAN di Surabaya, semoga bisa masuk PTN agar dapat beasiswa kuliah Pemkot, juga ketiga adiknya.
Saat bertemu di RS dengan anak keduanya, saya motivasi untuk bersemangat menempuh ujian akhir dan seleksi perguruan tinggi negeri atau perguruan tinggi yang bekerja sama dengan pemkot agar dapat mendapat beasiswa kuliah dari Pemkot. Saya juga mengkontak kepala SMAN nya untuk memastikan bahwa sekolah memotivasi siswa yang kondisi bapaknya sakit, ia harus tetap ujian dan bisa mengikuti seleksi bersama masuk perguruan tinggi. Pihak sekolah juga membantu pembiayaan-pembiayaan yang ada di sekolahnya. Kita pastikan itu. Saya juga mendorong Pemkot memberikan perhatian.
KEDUA, nasib guru secara keseluruhan. Kisah ini memberikan gambaran nasib guru honorer yang belum sejahtera. Guru honorer digaji UMK tetapi tidak mendapatkan tunjangan apapun selain gaji senilai UMK tersebut. Dengan masa pengabdian yang sudah 22 tahun. Mungkin orang melihat, profesi guru berarti kondisi ekonominya mampu. Ternyata apa yang dialami Pak Eko selayaknya memantik pemkot untuk merumuskan kebijakan yang ramah dan berpihak pada kesejahteraan guru honorer atau guru2 swasta yang kondisi ekonominya masih belum layak.
Kita perlu pastikan kebutuhan dasar guru terpenuhi, utamanya guru-guru yang berada di Surabaya. Tidak hanya sekedar sudah memenuhi gaji UMK. Sudah selayaknya guru mendapat gaji UMK plus atau tambahan penghasilan (tunjangan). Juga harus diperhatikan betul kondisi keluarganya. Harus dipastikan betul pendidikan anak-anaknya. Itu merupakan wujud apresiasi atas pengabdian guru. Tidak hanya dengan memberikan gaji, namun ada persoalan lain yang didalami. Jadi tidak tertutup kemungkinan bahwa guru masuk dalam kategori MBR (Masyarakat Berpenghasilan Rendah). Harus diintervensi dengan kebijakan lain. Utamanya Guru yang sudah mengajar bertahun2 harus diutamakan. Dalam kasus ini, Pak Eko telah mengajar selama 22 tahun. Perlu adanya kategori guru berdasarkan lamanya menjadi tenaga pendidik.
Semoga tidak kita temui kisah pilu guru seperti ini lagi. Kisah pak Eko ini harus menjadi pijakan kita untuk benar-benar memperhatikan guru secara menyeluruh. Jangan sampai guru yang mendidik anak-anak mencapai cita-cita yang tinggi ternyata masih kesulitan untuk membiayai anak-anaknya sendiri mencapai cita-cita yang tinggi. Saya mendorong pemkot untuk mengkaji ini dan merumuskan kebijakan agar tidak ada lagi kisah pilu guru di Surabaya.
Mari kita kawal bersama.
Reni Astuti
Wakil Ketua DPRD Surabaya
@reniastuti1, #surabayaBETTER