JURNALBERITA.ID – SURABAYA, Masuknya Walikota Surabaya Tri Rismaharini dalam stuktrural kepengurusan DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) akan merubah peta politik PDIP dalam Pilkada Surabaya 2020 nanti. Perubahan peta politik ini, lantaran masuknya Risma sebagai Ketua Bidang Kebudayaan DPP PDIP ini mengejutkan dan tidak disangkah semua pihak.
Justru yang digadang-gadang nama Bambang Dwi Hartono (BDH) akan mengisi jabatan sebagai Sekretaris Jendral (Sekjen) menggantikan Hasto Cristianto. Akan tetapi dalam keputusan Kongres PDIP di Bali posisi Bambang DH di kepengurusan DPP PDIP tersingkir.
Teka teki siapa bakal calon Wali kota Surabaya 2020 nanti yang akan diusung PDIP masih menjadi pertanyaan besar. Siapa yang akan mendapat rekomendasi maju dalam Pilwali Surabaya 2020 nanti, masih menjadi tanda tanya bagi semua kalangan.
Menurut pakar Komunikasi Politik Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Suko Widodo saat dimintai tanggapannya atas masuknya Risma dalam stuktural DPP PDIP menerangkan, masuknya ibu Risma dalam kepengurusan DPP PDIP akan merubah peta Politik di Surabaya.
“Masuknya bu Risma jelas akan merubah peta politik di Surabaya. Khususnya menyangkut soal Pilwali Surabaya 2020 nanti,” ucap Suko, Senin (12/8) pada media ini.
Lanjut dia, ini menunjukkan di internal PDIP sendiri ada sesuatu yang bergejolak. Termasuk juga tidak masuknya Bambang DH dalam kepengurusan DPP PDIP akan merubah peta politik internal PDIP.
Bisa jadi dengan masuknya bu Risma akan menjadi peluang kader yang bakal diorbitkan beliau keketua umum PDIP, Megawati Soekarno Putri, sambung Suko
“Nah siapa dia, tentu yang akan muncul beberapa nama yang pernah masuk dalam survey yang kami lakukan. Birokrat ada nama Eri Cahyadi (Kepala Bappeko),” ujarnya.
Berdasarkan survey polpularitas Eri Cahyadi tidak sepopuler Whisnu Sakti Buana yang masih unggul. Semua bisa berubah, ujar dia.
Munculnya isu untuk menggandengkan Eri Cahyadi dengan Syaifuddin Zuhri (ketua Komisi C DPRD Surabaya) bisa jadi itu terjadi. Akan tetapi kata Suko, pasangan ini bila memang dipaksakan dimunculkan PDIP masih kurang populer. Karena kedua nama ini tingkat populeritasnya masih dibawah polpularitas Whisnu.
“Ya popularitas keduanya masih dibawah Whisnu,” terangnya.
Jadi menurutnya, PDIP tidak bisa mengusung sendirian. PDIP perlu menggandeng partai lain. Karena sangat berat bagi PDIP bila tidak membangun koalisi dengan partai lain.
“Sangat berat bagi PDIP bila mengusung kedua nama tersebut sendirian. Oleh karenanya perlu menggandeng partai lain,” papar Suko.
Namun, apakah partai lain juga tidak akan mengusulkan calon dari partainya. Tentu ini akan menjadi permaslahan dalam koalisi, kalau kedua nama itu dimunculkan PDIP, pungkas dia. (JB01)