JURNALBERITA.ID – SURABAYA, Pernyataan keras dan tegas dikeluarkan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mendesak agar surat permohonan yang dilayangkan Humas Pemkot Surabaya ke kantor redaksi JTV. Aji menyatakan sikat tegas atas permohonan tersebut agar JTV tidak perlu mengindahkan permohonan penggantian repoter JTV yang ditugaskan di Pemkot Surabaya.
Jika sebelumnya pernyataan tegas juga disampaikan pihak Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jatim M Munir dan penyataan tegas juga disampaikan Ketua Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Heri Cuk terkait dugaan pelarangan liputan atas reporter TV lokal swasta JTV (Dewi Imroatin)
Menurut Ketua AJI Surabaya,Miftah Faridl, AJI sebagai organisasi profesi, merespon pengaduan itu dengan mengklarifikasi ke berbagai pihak, baik kepada Humas Pemkot Surabaya dan Dewi sebagai pengadu.
“Permintaan keterangan itu berkaitan juga dengan kronologi yang dijabarkan Dewi. Yang kemudian kami konfrontir dengan pihak Kabag Humas Pemkot Surabaya, M Fikser,” ucap Faridl, Jumat (12/10).
Untuk itu, kata Faridl, AJI Surabaya telah mengkonsultasikan dengan Ahli Dewan Pers di Jawa Timur terkait kasus ini. Konsultasi ini berkaitan dengan posisi kasus dan potensi pidana yang disebabkannya.
“AJI Surabaya menilai surat permohonan penggantian jurnalis JTV atas nama Dewi tertanggal 10 Oktober 2018 oleh Pemkot Surabaya merupakan bentuk intervensi yang melanggar kemerdekaan dan UU Pers,” terang Wartawan CNN Indonesia ini.
Meskipun bersifat permohonan, lanjut dia, sikap tersebut menujukkan Pemkot telah masuk keranah redaksi sebuah media massa.
“Pada ketentuan Pasal 4 ayat 1 dan 3, jelas disebutkan soal kemerdekaan pers yang berarti bebas dari intervensi,” papar Faridl.
Ini artinya, bahwa Pemkot Surabaya, melalui surat itu berpotensi melanggar ketentuan pasal 18 ayat 1 UU Pers yang berisi tentang upaya dengan sengaja melawan hukum menghambat atau menghalangi kerja-kerja jurnalistik, dengan acaman pidana kurungan 2 tahun penjara dan atau denda Rp 500 juta.
“Dalam UU Pers, subjek yang dilindungi bukan hanya media massa saja, tetapi juga jurnalis sebagai individu,” urai dia.
Kemudian sambung Faridl, permohonan pergantian personel yang ditugaskan sebuah media massa oleh institusi apapun, berarti menghalangi jurnalis sebagai individu untuk melakukan kerja-kerja jurnalistiknya.
“Di dalam surat tersebut, tidak dijelaskan apa alasan permohonan itu. Hal ini tidak lazim. Pemkot harus menujukkan dugaan pelanggaran etik atau hal yang bisa dianggap mencederai kebesan pers oleh Dewi kepada media tempatnya bekerja atau Dewan Pers, yang besifat sebagai aduan,” imbuhnya.
Apabila hal itu tidak dilakukan, artinya permohonan tersebut bersifat subjektif. Tentu hal ini bertentangan dengan semangat kebebasan pers. Pejabat publik tidak sepantasnya membawa urusan pribadi atau subjektivitasnya ke ranah profesi. Meskipun, pejabat publik tersebut memiliki hak untuk tidak menjawab pertanyaan, paparnya.
“Nara sumber tidak bisa membatasi apalagi melarang jurnalis bertanya. Terlebih karena subjekitifitas itu sampai mengintervensi ruang redaksi,” pungkas Faridl. (has)
AJI Surabaya Mendesak :
1. JTV sebagai perusahaan tempat Dewi bekerja, tidak mengindahkan surat permohonan dari Pemkot Surabaya.
2. Agar Pemkot Surabaya segera mencabut surat tersebut dan tidak mengulangi perbuatan ini lagi, karena berpotensi pidana, sesuai ancaman yang tertuang dalam UU Pers.
3. Agar Wali Kota Tri Rismaharini atau pejabat lain tidak menghalangi atau perbuatan yang bisa mengganggu kerja-kerja jurnalis hanya karena ketidak nyamanan dan ketidak sukaan.
4. Agar pihak-pihak yang merasa dirugikan dalam sengketa pers, mengadukannya ke Dewan Pers.
5. Mendukung Dewi sebagai jurnalis tetap bertugas sebagaimana mestinya sesuai UU Pers.
6. Mengimbau agar semua jurnalis berpegang teguh pada UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik dalam kerja-kerja profesinya.
Surabaya, 12 Oktober 2018
MIFTAH FARIDL
Ketua AJI SURABAYA